Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Cawan Pengantin


Bagi sebagian orang, cinta mungkin seperti kepingan uang. Cinta memiliki dua sisi, terang dan gelap.

--
Pengantin wanita mulai menghias kamarnya dengan rampai-rampai melati. Di atas ranjang, kelopak demi kelopak disusun dengan hati-hati. Dia tidak ingin ada sedikit pun ketidaksempurnaan di dalam kamar pengantinnya.

Sementara itu pengantin pria menunggu di bawah matahari untuk membuktikan siang tidak akan melelehkan cintanya.


Pengantin wanita melukis dinding kamar dengan cat merah, kuning dan hijau. Dia seperti memindahkan taman dalam hatinya ke atas permukaan dinding itu.

Pengantin pria menunggu di bawah awan mendung untuk membuktikan hujan tidak akan melunturkan cintanya. Tapi dia salah. Cinta telah menunjukkan sisi gelapnya.

Awan mendung mestinya membawa berkarung-karung hujan. Tapi kali ini yang jatuh ke atas bumi adalah kembang-kembang melati, yang kuncup dan yang mekar. Pengantin wanita pun mengganti melati-melati yang layu di atas ranjang. Lalu kembali melukis dinding-dinding kamar yang masih polos.

--

Pengantin pria menunggu di bawah matahari untuk membuktikan siang tidak akan melelehkan cintanya. Tapi dia salah. Dia pun menulis sebuah puisi dengan tinta darah dan air mata

 Pada sebuah cawan aku tuangkan air perasan emosi, juga bertetes-tetes air mata dan darah penghabisan.
Sayangnya bukan untukmu kali ini.

Cinta membaca surat itu sampai matanya berkaca-kaca, menyiratkan kepedihan yang mendalam. Dia lalu pergi dalam nelangsa dan membawa semuanya. Awan, melati, matahari dan rindu.

--

Pengantin pria kini terbaring di atas ranjang pengantin, kelelahan karena bercinta semalaman.
Seorang gadis menatap ufuk timur dari balik jendela. Saat matahari pagi mengintip, dia menyunggingkan senyum lalu tergesa-gesa membangunkan pengantin pria.

“Bangun, Sayang. Matahari sudah datang,” ucapnya mesra.

Pengantin laki-laki membuka mata… kemudian menatap gadis itu dengan wajah setengah putus asa.

“Jangan, Sayang. Dia berkawan dengan matahari. Dia bisa menemukan kita nanti.”

--

Sementara itu pengantin wanita kini menunggu di bawah matahari untuk membuktikan siang tidak akan melelehkan rasa cintanya. Kamar pengantin yang telah dipersiapkannya terlihat senyap dan hampa.
***


 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Danita R. mengatakan…
Haduuuu .....
Koq penganten laki bercintanya gasama penganten wanita ?
:-(
Apa saya yng salah paham pa Pical ?
pical gadi mengatakan…
Makasih mas mampirnya. Salam
pical gadi mengatakan…
Gak mbak Danita. Sudah cocok pemahamannya :)
Memang begitulah getirnya cinta.
Makasih ya sudah mampir