Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Konvoi



Langit siang itu tak berawan. Matahari pun leluasa membakar permukaan bumi. Aspal jadi sepanas penggorengan martabak. Tapi Joni dan Otong yang berboncengan di atas sepeda motor tidak peduli. Mereka kelihatan sangat hepi bisa bergabung dalam konvoi partai PMS4 (Partai Masyarakat Sehat, Sukses dan Sejahtera Selamanya). Barisan konvoi didominasi warna hitam, warna kebangsaan partai tersebut. Joni bertugas menjalankan sepeda motor, dan Otong di boncengan bertugas mengibar-ngibarkan bendera partai. Pokoknya simpatisan abis.

Fenomena konvoi keliling kota ini dilakukan banyak partai sebagaimana biasa, terutama setelah diperbolehkan melakukan kampanye terbuka. Diamati sepintas, rombongan sepeda motor PMS4 lumayan banyak, kira-kira bisa mencapai 100-an sepeda motor.

Setelah konvoi berjalan beberapa lama, Otong memaksa Joni untuk berhenti. Dia kebelet pingin pipis.

“Gak bisa ditahan sebentar apa?! Tanggung nih...,” sergah Joni ogah-ogahan.

“Duuh.... gak bisa bro. Udah ditahan dari tadi. Kamu mau saya pipis di jok motor kamu!”

“Eehh.. jangan, jangan!! Gila kamu!”

Joni pun memisahkan diri dari rombongan begitu dia melihat ada kumpulan semak belukar yang cukup rimbun tidak jauh dari tikungan. Begitu laju sepeda motor berhenti, Otong langsung melompat dari tempat duduknya dan berlari ke arah semak belukar.

“Awas ada ular sanca! Hehehe,” goda Joni.

Tapi Otong enggan membalas. Dia menurunkan resleting celana jeansnya lalu menumpahkan isi kandung kemihnya dengan nikmat.

“Cepetan! Kita sudah jauh ketinggalan nih!!” teriak Joni.

“Sabar dikit napa? Udah sejam ditahan nih, gak bisa cepet-cepet!” balas Otong. Kelihatan memang dia masih menikmati ritualnya.

Barulah setengah menit kemudian, Otong kelar. Dia merapikan resletingnya, mengambil kembali bendera partai yang di taruh asal di atas semak-semak. Lalu kembali ke belakang Joni.

“Ayo cepetan!,” ucapnya sambil menepuk pundak Joni.

“Sialan! Kamu tuh yang bikin lama.”

Joni memang sengaja tidak mematikan mesin motornya, jadi begitu Otong udah duduk di boncengan, dia langsung tancap gas.

Begitu melewati tikungan, mereka terpekur. Jalan lurus di depan mereka kelihatan lengang, tidak ada tanda-tanda rombongan mereka tadi. Kelihatannya mereka sudah tertinggal cukup jauh.

“Haahh!! Cepet juga jalannya!” Ucap Otong.

“Gara-gara kamu nih pakai acara pipis segala.”


“Kamu nggak tahu rutenya ya?”

“Nggak. Tadi kan disuruh ngikut aja!”

“Waduhh!!”


“Gini deh. Kita lurus aja dulu. Kamu coba telepon bang Cakra!”

“Oh iya. OK”

Otong langsung merogoh HP di saku celananya lalu menelepon bang Cakra, salah satu korlap sekaligus kawan mereka, yang mengajak ikut iring-iringan simpatisan partai. Sementara itu Joni kembali melajukan motornya mengikuti jalanan di depannya. Saat melewati simpang empat, Joni celingak-celinguk untuk melihat adakah tanda-tanda rombongan mereka.

“Wah, Cakra gak ngangkat teleponnya lagi!” kata Otong

“Eh... eh,” Joni memicingkan matanya. “Itu mereka kan?” telunjuknya mengarah ke kanan persimpangan, menunjuk sebuah rombongan konvoi yang sudah menjauh, sebentar lagi hilang dari pandangan.

“Oh iya!,” seru Otong. “Ayo cepat Jon, kejar mereka!”

Sepeda motor pun digeber lagi, setirnya di banting ke kanan lalu dilajukan secepat mungkin mengejar rombongan konvoi yang semakin jauh.

Tidak sampai 5 menit kemudian mereka sudah bergabung lagi bersama rombongan.

“Fiuhh.... akhirnya terkejar,” kata Joni lega. Dia setengah berseru untuk mengalahkan suara deru motor lainnya. Otong pun kembali melambai-lambaikan bendera partai.

Perjalanan berlangsung hampir 10 menit ketika mereka merasakan keanehan. Pertama, sepertinya tidak ada satu pun wajah yang familiar di antara rombongan tersebut. Bang Cakra juga dari tadi tidak kelihatan batang hidungnya. Kedua, sepertinya rombongan mereka mengambil rute jalan alternatif yang mengarah ke luar kota. Ketiga, sepertinya semua orang yang tadi membawa atribut partai seperti bendera, spanduk, dan umbul-umbul tidak nampak lagi. Pada hilang kemana?

“Bang Cakra kemana ya, motornya dari tadi gak kelihatan?” seru Joni ke Otong di belakangnya.

“Iya ya. Mungkin dia pindah di bagian depan!” sahut Otong.

“Kita cek ya...!”

Joni susah payah menyisir padatnya konvoi. Orang-orang yang dilewati juga nampak memandang sinis ke arah mereka. Belum lagi setengah rombongan dilewati, rupanya bagian depan konvoi sudah menepi. Joni melihat pergerakan motor-motor dan sejumlah mobil ke tepi jalan, bagian tengah dan belakang konvoi juga mengikuti. Joni dan Otong tambah ketar-ketir, mereka hafal benar daerah itu. 
Sama sekali bukan tempat yang pantas untuk sebuah konvoi partai.

“Jon, kok mampirnya ke pemakaman umum sih?!!” Otong bertanya heboh.

“Iya nih! Mau kampanye atau mau ngelayat sih??!!” sahut Joni tak kalah hebohnya. Tapi dia ikut menepikan juga motornya mengikuti rombongan konvoi yang lain.

“Mau kampanye ya mas? Salaaahh!!!”

Seorang anggota konvoi yang paling dekat dengan mereka menimpali judes. Motornya berhenti di samping motor Joni. Bapak berkumis bertubuh gempal yang duduk di boncengan ikutan menghardik Joni dan Otong.

“Pantes dari tadi ngibar-ngibarin bendera kayak orang gila!”

“Looh.... i, ini bukan konvoi partai ya, pak? Eh mas! Eh, pak?” tergagap-gagap Joni menyahut.

“Bukaaan!!!” seru kedua lawan bicara mereka.

“Ini konvoi jenazah...!! Makanya lain kali lihat-lihat dulu kalau mau konvoi! Jangan asal aja....!!”

Joni dan Otong saling berpandangan pasrah. Memalukan!

__________________

ilustrasi gambar dari: www.antarafoto.com


Baca Juga:
 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Dy mengatakan…
Joni.....Otong.....jadi nggak tau mau komen apaan. Ngikik aja bacanya. Lumayan buat obat migraine.
Ryan M. mengatakan…
Hahaha! Pengalaman pribadi?
Maria Etha mengatakan…
kayaknya siih ini pengalaman ....
Fabina Lovers mengatakan…
wk wk wk bendera kuning kok dikira bendera partai ya...otong, otong #geleng2#
Lis Suwasono mengatakan…
Wuakakak... Koplaaak! Asyik bacanya, Mas Pical...
pical gadi mengatakan…
Mudah2an migraine-nya sirna mbak Dyah.
pical gadi mengatakan…
Hahaha... bukaan! imajinasi saja mas Ryan
pical gadi mengatakan…
Pengalaman dalam fantasi saja mbak Maria. Makasih sudah mampir yaa
pical gadi mengatakan…
Itu dia mbak. Yg nulis aja sampai geleng2, apalagi yg baca :D :D
pical gadi mengatakan…
Trims mampirnya bu Lis. Have a nice monday
Joniiii..otongggg, sembronoooo, wkwkwkwk..
pical gadi mengatakan…
Iya nih mbak Putri. Kacau jadinya... Hehe